Tari Guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di Aceh.
Guel berarti membunyikan. Khususnya di daerah dataran tinggi gayo, tarian ini
memiliki kisah panjang dan unik. Para peneliti dan koreografer tari
mengatakan tarian ini bukan hanya sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari
seni sastra, seni musik
dan seni tari itu sendiri. Tari guel bukan hanya sebuah tari biasa namun
tari guel merupakan budaya yang memiliki makna dan tradisi adat tertentu
seperti penyambutan para petinggi di daerah gayo, dan pentinggi yang mendatangi
derah Gayo. Selain itu tari guel saat ini juga digunkan saat pesta perkawinan,
ketika akan menyambut kedua mempelai.
Konon
tari guel yang di iringi irama musik dan nyanyian ini, memiliki cerita atau
kisah, ketika menaklukan Gajah putih yang ada di rimbaraya kecamatan Gajah Puti
Bener Meriah, yang akan dibawa ke Aceh Darusalam atau saat ini dikenan (Banda
Aceh), atas permintaan Putri Raja Sultan. Sengeda yang saat itu menjadi Pawang
kehabisan akal utuk menaklukan Gajah Putih.
Guna
menjinakkan dan memancing Gajah Putih utuk keluar, diadakanlah kenduri dengan
membakar Kemenyan, serta memukul kayu sehingga menghasilkan bunyi-bunyian.
mendengar bunyian tersebut keluarga sengeda melakukan Gerkan Tari. Alhasil
Gajah Putih pun keluar Dari persebunyiannya. Berbagai macam cara dilakukan guna
mengiring gajah, namun tetap saja Gajah tidak berpindah tempat.
Sengeda
kembali memerintahkan rombongan dengan niat tulus dan ikhlas. Agar menari
dengan mengerakan tangan seperti gerakan belalai Gajah, disertai dengan salam
sembahan kepada Gajah. Sehingga gajah dapat di taklukkan dan di bawa ke Banda
Aceh di iringi tari guel tersebut.
Dalam perkembangannya, tari Guel timbul tenggelam, namun
Guel menjadi tari tradisi terutama dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya apresiasi terhadap wujud alam,
lingkkungan kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan
irama. Tari ini adalah media informatif. Kekompakan dalam padu padan antara
seni satra, musik/suara, gerak memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi)
sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan pola pikir masyarakat setempat.
Guel tentu punya filosofi berdasarkan sejarah kelahirannya. Maka rentang 90-an
tarian ini menjadi objek penelitian sejumlah surveyor dalam dan luar negeri.
Di tanah Gayo, dahulunya dikenal
begitu banyak penari Guel. Seperti Syeh Ishak di Kampung Kutelintang-Pegasing,
Aman Rabu di kampung Jurumudi-Bebesan, Ceh Regom di Toweren. Penari lain yang
kurun waktun 1992-1993 yang waktu itu masih hidup adalah Aman Jaya-Kampung
Kutelintang, Umer-Bebesen, Syeh Midin-Silih Nara Angkup, Safie-Gelu Gele
Lungi-Pegasing, Item Majid-Bebesen. Mereka waktu itu rata-rata sudah berusia
60-an. Saat ini sudah meninggal sehingga alih generasi penari menjadi hambatan
serius.
Walaupun ada penari yang lahir
karena bakat sendiri, bukan langsung diajarkan secara teori dan praktik oleh
para penari pakar seperti disebutkan, keterampilan menari mereka tak sepiawai
para pendahulunya. Begitu juga pengiring penggiring musik tetabuhan seperti
Rebana semakin langka, apalagi ingin menyamakan dengan seorang dedengkot
almarhum Syeh Kilang di Kemili Bebesen.
Tari Guel dibagi dalam empat babakan baku. Terdiri dari babak Mu natap, Babak II Dep, Babak III Ketibung, Babak IV Cincang Nangka. Ragam Gerak atau gerak dasar adalah Salam Semah (Munatap ), Kepur Nunguk, Sining Lintah, Semer Kaleng (Sengker Kalang), Dah-Papan. Sementara jumlah para penari dalam perkembangannya terdiri dari kelompok pria dan wanita berkisar antara 8-10 ( Wanita ), 2-4 ( Pria ). Penari Pria dalam setiap penampilan selalu tampil sebagai simbol dan primadona, melambangkan aman manyak atau lintoe Baroe dan Guru Didong. Jumlah penabuh biasanya minimal 4 orang yang menabuh Canang, Gong, Rebana, dan Memong.
Tari Guel memang unik,
mengandung unsur dan karakter perpaduan unsur keras lembut dan bersahaja. Bila
para pemain benar-benar mengusai tarian ini, terutama peran Sengeda dan Gajah
Putih maka bagi penonton akan merasakan ketakjuban luar biasa. Seolah-olah
terjadinya pertarungaan dan upaya memengaruhi antara Sengeda dan Gajah Putih.
Upaya untuk menundukkan jelas terlihat, hingga kipasan kain kerawang Gayo di
Punggung Penari seakan mengandung kekuatan yang luar biasa sepanjang tarian.
Guel dari babakan ke babakan
lainnya hingga usai selalu menawarkan uluran tangan seperti tarian sepasang
kekasih di tengah kegundahan orang tuanya. Tidak ada yang menang dan kalah
dalam tari ini, karena persembahan dan pertautan gerak dan tatapan mata adalah
perlambang Cinta. Tapi sayang, kini tari Guel itu seperti kehilangan Induknya,
karena pemerintah sangat perhatian apalagi gempuran musik hingar modern seperti
Keyboard pada setiap pesta perkawinan di daerah itu.
REFERENSI