Kamis, 03 Juli 2014

Tari Guel Asal Gayo


 Tari Guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di Aceh. Guel berarti membunyikan. Khususnya di daerah dataran tinggi gayo, tarian ini memiliki kisah panjang dan unik. Para peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan hanya sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri. Tari guel bukan hanya sebuah tari biasa namun tari guel merupakan budaya yang memiliki makna dan tradisi adat tertentu seperti penyambutan para petinggi di daerah gayo, dan pentinggi yang mendatangi derah Gayo. Selain itu tari guel saat ini juga digunkan saat pesta perkawinan, ketika akan menyambut kedua mempelai.
Konon tari guel yang di iringi irama musik dan nyanyian ini, memiliki cerita atau kisah, ketika menaklukan Gajah putih yang ada di rimbaraya kecamatan Gajah Puti Bener Meriah, yang akan dibawa ke Aceh Darusalam atau saat ini dikenan (Banda Aceh), atas permintaan Putri Raja Sultan. Sengeda yang saat itu menjadi Pawang kehabisan akal utuk menaklukan Gajah Putih.
Guna menjinakkan dan memancing Gajah Putih utuk keluar, diadakanlah kenduri dengan membakar Kemenyan, serta memukul kayu sehingga menghasilkan bunyi-bunyian. mendengar bunyian tersebut keluarga sengeda melakukan Gerkan Tari. Alhasil Gajah Putih pun keluar Dari persebunyiannya. Berbagai macam cara dilakukan guna mengiring gajah, namun tetap saja Gajah tidak berpindah tempat.
Sengeda kembali memerintahkan rombongan dengan niat tulus dan ikhlas. Agar menari dengan mengerakan tangan seperti gerakan belalai Gajah, disertai dengan salam sembahan kepada Gajah. Sehingga gajah dapat di taklukkan dan di bawa ke Banda Aceh di iringi tari guel tersebut.
Dalam perkembangannya, tari Guel timbul tenggelam, namun Guel menjadi tari tradisi terutama dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya apresiasi terhadap wujud alam, lingkkungan kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan irama. Tari ini adalah media informatif. Kekompakan dalam padu padan antara seni satra, musik/suara, gerak memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan pola pikir masyarakat setempat. Guel tentu punya filosofi berdasarkan sejarah kelahirannya. Maka rentang 90-an tarian ini menjadi objek penelitian sejumlah surveyor dalam dan luar negeri.
Di tanah Gayo, dahulunya dikenal begitu banyak penari Guel. Seperti Syeh Ishak di Kampung Kutelintang-Pegasing, Aman Rabu di kampung Jurumudi-Bebesan, Ceh Regom di Toweren. Penari lain yang kurun waktun 1992-1993 yang waktu itu masih hidup adalah Aman Jaya-Kampung Kutelintang, Umer-Bebesen, Syeh Midin-Silih Nara Angkup, Safie-Gelu Gele Lungi-Pegasing, Item Majid-Bebesen. Mereka waktu itu rata-rata sudah berusia 60-an. Saat ini sudah meninggal sehingga alih generasi penari menjadi hambatan serius.
Walaupun ada penari yang lahir karena bakat sendiri, bukan langsung diajarkan secara teori dan praktik oleh para penari pakar seperti disebutkan, keterampilan menari mereka tak sepiawai para pendahulunya. Begitu juga pengiring penggiring musik tetabuhan seperti Rebana semakin langka, apalagi ingin menyamakan dengan seorang dedengkot almarhum Syeh Kilang di Kemili Bebesen.

            Tari Guel dibagi dalam empat babakan baku. Terdiri dari babak Mu natap, Babak II Dep, Babak III Ketibung, Babak IV Cincang Nangka. Ragam Gerak atau gerak dasar adalah Salam Semah (Munatap ), Kepur Nunguk, Sining Lintah, Semer Kaleng (Sengker Kalang), Dah-Papan. Sementara jumlah para penari dalam perkembangannya terdiri dari kelompok pria dan wanita berkisar antara 8-10 ( Wanita ), 2-4 ( Pria ). Penari Pria dalam setiap penampilan selalu tampil sebagai simbol dan primadona, melambangkan aman manyak atau lintoe Baroe dan Guru Didong. Jumlah penabuh biasanya minimal 4 orang yang menabuh Canang, Gong, Rebana, dan Memong.
Tari Guel memang unik, mengandung unsur dan karakter perpaduan unsur keras lembut dan bersahaja. Bila para pemain benar-benar mengusai tarian ini, terutama peran Sengeda dan Gajah Putih maka bagi penonton akan merasakan ketakjuban luar biasa. Seolah-olah terjadinya pertarungaan dan upaya memengaruhi antara Sengeda dan Gajah Putih. Upaya untuk menundukkan jelas terlihat, hingga kipasan kain kerawang Gayo di Punggung Penari seakan mengandung kekuatan yang luar biasa sepanjang tarian.
Guel dari babakan ke babakan lainnya hingga usai selalu menawarkan uluran tangan seperti tarian sepasang kekasih di tengah kegundahan orang tuanya. Tidak ada yang menang dan kalah dalam tari ini, karena persembahan dan pertautan gerak dan tatapan mata adalah perlambang Cinta. Tapi sayang, kini tari Guel itu seperti kehilangan Induknya, karena pemerintah sangat perhatian apalagi gempuran musik hingar modern seperti Keyboard pada setiap pesta perkawinan di daerah itu.

REFERENSI






Visitor